Di
sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada
prestasi akademik justru menjadi kontra produktif karena menimbulkan
rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan prikologis diberikan oleh
sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa memenuhi target
akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan
stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali
potensi non akademik yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap
pembentukan karakter sebagai manusia yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa
saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor.
Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.
Semestinya seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid ‘nrimo’ tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat.
Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas. Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru. Dari penjelasan di atas muncul pertanyaan, mampukah peserta didik Indonesia mengoptimalkan potensi akademik dan non akademik di era global?
Di kutib dari http://bermutufaridatul.guru-indonesia.net/artikel_detail-27526.html
Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.
Semestinya seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid ‘nrimo’ tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat.
Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas. Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru. Dari penjelasan di atas muncul pertanyaan, mampukah peserta didik Indonesia mengoptimalkan potensi akademik dan non akademik di era global?
Di kutib dari http://bermutufaridatul.guru-indonesia.net/artikel_detail-27526.html
Sangat membantu,
BalasHapusBantu Share